Penulis : Irsad Munawir, MSi
Dosen Administrasi Publik FISIP UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Keadilan sosial telah lama menjadi cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang secara eksplisit dalam sila kelima Pancasila. Namun, dalam praktiknya, cita-cita tersebut kerap kali tampak seperti utopia yang jauh dari realitas sehari-hari. Ketimpangan ekonomi, akses yang tidak merata terhadap layanan dasar, hingga perlakuan hukum yang berbeda antara si miskin dan si kaya masih menjadi fenomena yang menghantui kehidupan berbangsa. Di tengah narasi pembangunan yang terus digembar-gemborkan pemerintah, publik bertanya-tanya: apakah keadilan sosial hanya akan menjadi retorika normatif, atau benar-benar bisa diwujudkan sebagai keniscayaan melalui kebijakan dan tindakan konkret pemerintah?
Pertanyaan tersebut menjadi semakin relevan saat kita menyaksikan paradoks dalam berbagai kebijakan publik. Di satu sisi, negara mengklaim hadir untuk rakyat kecil dengan berbagai program bantuan sosial, subsidi, dan pembangunan infrastruktur. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut sering kali tidak menyentuh akar persoalan struktural yang menyebabkan ketimpangan itu sendiri. Sebagai contoh, program bantuan tunai bersyarat atau bantuan pangan memang membantu dalam jangka pendek, namun belum mampu memutus rantai kemiskinan jangka panjang karena tidak diikuti dengan penguatan akses pendidikan berkualitas, lapangan kerja layak, dan perlindungan sosial yang menyeluruh.
Lebih jauh, keadilan sosial bukan sekadar soal distribusi kekayaan atau bantuan, tetapi juga tentang kesetaraan kesempatan dan perlakuan. Banyak kelompok masyarakat seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, nelayan tradisional, hingga buruh migran, masih mengalami diskriminasi kebijakan. Negara sering gagal menjangkau mereka secara adil karena pendekatan kebijakan yang masih bersifat top-down dan seragam, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya masing-masing komunitas. Dalam konteks inilah, peran pemerintah menjadi sangat krusial: apakah ia sekadar menjadi operator teknokratis, atau justru bertindak sebagai agen keadilan sosial yang progresif?
Keadilan sosial juga erat kaitannya dengan akses terhadap pelayanan publik. Pendidikan dan kesehatan, misalnya, merupakan dua pilar penting yang menentukan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Namun faktanya, kualitas pendidikan masih sangat tergantung pada lokasi geografis dan latar belakang sosial-ekonomi keluarga. Anak-anak di kota besar memiliki lebih banyak pilihan sekolah berkualitas, akses internet, hingga bimbingan belajar. Sementara di daerah terpencil, anak-anak harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer hanya untuk mencapai sekolah dasar, dan belum tentu tersedia guru yang memadai. Pemerintah memang telah melakukan berbagai intervensi melalui program afirmasi dan digitalisasi, tetapi hingga kini kesenjangan itu tetap lebar.
Demikian pula dengan layanan kesehatan. Di atas kertas, jaminan kesehatan nasional mencakup seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam praktiknya, masih banyak keluhan tentang ketidakterjangkauan layanan, antrean panjang, minimnya tenaga medis di daerah, dan kualitas pelayanan yang jauh dari layak. Keadilan sosial dalam konteks ini bukan sekadar memberi kartu jaminan kesehatan, tetapi memastikan bahwa setiap warga, tak peduli domisili dan status sosialnya, mendapat layanan kesehatan yang manusiawi, cepat, dan berkualitas.
Masalah ketimpangan ekonomi menjadi indikator nyata ketidakadilan sosial di Indonesia. Menurut laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Ketimpangan ini memperlebar jurang sosial, menggerus kepercayaan publik terhadap negara, dan menciptakan potensi konflik sosial yang besar. Jika ketimpangan dibiarkan, maka keadilan sosial akan benar-benar menjadi mitos yang dikubur dalam euforia pembangunan fisik yang sesungguhnya timpang.
Lantas, apakah keadilan sosial hanya menjadi utopia? Tidak harus demikian. Keadilan sosial bisa menjadi keniscayaan jika pemerintah memiliki komitmen kuat, keberanian politik, dan kemampuan untuk menata ulang sistem sosial-ekonomi agar lebih inklusif. Ini mencakup reformasi perpajakan yang progresif, penguatan perlindungan sosial universal, kebijakan afirmatif bagi kelompok rentan, serta pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Keadilan sosial juga tidak akan terwujud jika pemerintah hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan distribusi hasil pembangunan secara merata.
Disamping itu, penting juga bagi pemerintah untuk membuka ruang partisipasi yang luas dalam penyusunan kebijakan publik. Masyarakat sipil, akademisi, komunitas lokal, hingga kelompok marjinal harus diberi ruang untuk menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya. Partisipasi yang bermakna bukan hanya soal konsultasi formal, tetapi melibatkan masyarakat dalam seluruh siklus kebijakan: mulai dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi. Ketika warga merasa terlibat dan dihargai, maka rasa keadilan akan tumbuh, bukan hanya karena kebijakan yang dibuat adil, tapi juga karena prosesnya demokratis.
Namun keadilan sosial bukan semata tanggung jawab pemerintah. Ia adalah hasil dari kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa. Dunia usaha harus berkontribusi dalam memastikan praktik bisnis yang adil dan tidak eksploitatif. Media harus aktif mengawasi kekuasaan dan menyuarakan suara-suara dari pinggiran. Lembaga pendidikan harus membentuk generasi muda yang peka terhadap isu-isu keadilan dan kemanusiaan. Masyarakat sendiri harus membangun solidaritas, bukan hanya berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi juga pada kepentingan bersama sebagai satu bangsa.
Pada akhirnya, apakah keadilan sosial itu utopia atau keniscayaan sangat bergantung pada kemauan politik dan desain kebijakan pemerintah. Namun lebih dari itu, ia juga membutuhkan kesadaran publik dan gerakan moral yang melampaui kepentingan elektoral. Keadilan sosial bukan hadiah, tapi hasil dari perjuangan panjang yang membutuhkan komitmen, kolaborasi, dan keberanian untuk berubah. Di tangan pemerintah yang visioner dan masyarakat yang aktif, keadilan sosial bukan lagi impian semu, melainkan kenyataan yang bisa dirasakan oleh setiap warga negara, dari Sabang sampai Merauke. (***)







