Penulis : Irsad Munawir, MSi
Dosen Administrasi Publik FISIP UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Di tengah dinamika masyarakat yang semakin kompleks dan beragam, kebijakan publik tidak lagi bisa disusun secara eksklusif oleh segelintir elite birokrasi. Masyarakat hari ini terdiri dari berbagai golongan, latar belakang, dan kepentingan yang berbeda—baik dari sisi sosial, ekonomi, budaya, hingga disabilitas dan gender. Dalam konteks ini, inklusi menjadi prinsip yang sangat mendesak untuk diwujudkan dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan publik. Sebab, tanpa inklusi, kebijakan berisiko tidak relevan, tidak adil, bahkan gagal mencapai tujuannya.
Inklusi dalam kebijakan publik berarti memastikan bahwa semua kelompok masyarakat, terutama mereka yang selama ini termarjinalkan, memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasinya dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ini bukan sekadar soal mendengar pendapat, melainkan memastikan bahwa pendapat tersebut benar-benar dipertimbangkan dan memiliki pengaruh terhadap hasil akhir kebijakan. Dalam demokrasi modern, partisipasi publik yang inklusif adalah ukuran kualitas dan legitimasi dari sebuah kebijakan.
Sayangnya, dalam praktiknya, inklusi dalam kebijakan publik masih sering menghadapi berbagai hambatan. Kelompok masyarakat adat, penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, kelompok minoritas agama, hingga masyarakat miskin di daerah terpencil kerap tidak memiliki akses yang cukup untuk ikut serta dalam proses kebijakan. Mereka tidak hanya terkendala oleh keterbatasan ekonomi atau pendidikan, tetapi juga oleh sistem birokrasi yang masih bersifat top-down dan minim transparansi. Akibatnya, kebutuhan dan persoalan kelompok-kelompok ini sering terabaikan, bahkan diabaikan.
Ambil contoh kebijakan bantuan sosial selama pandemi COVID-19. Banyak kasus ditemukan di mana kelompok miskin yang tinggal di daerah tanpa akses internet tidak tercatat dalam sistem digitalisasi data penerima bantuan. Mereka yang paling membutuhkan justru tidak mendapatkan bantuan karena kebijakan dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi nyata lapangan. Ini adalah cermin kegagalan dari kebijakan publik yang tidak inklusif. Di sisi lain, kelompok yang memiliki akses dan koneksi justru mendapatkan bantuan berlipat ganda. Kesenjangan ini mempertegas pentingnya memperbaiki proses formulasi kebijakan agar lebih akomodatif terhadap keragaman kondisi masyarakat.
Untuk menciptakan kebijakan publik yang inklusif, dibutuhkan perubahan paradigma dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah tidak cukup hanya berperan sebagai penyedia layanan, tetapi juga sebagai fasilitator dialog sosial yang terbuka. Dialog yang bermakna harus dibangun antara pembuat kebijakan dan masyarakat luas, terutama kelompok rentan. Dalam hal ini, pendekatan partisipatoris menjadi sangat krusial. Proses penyusunan kebijakan sebaiknya dilakukan melalui konsultasi publik, forum warga, diskusi kelompok terfokus (FGD), dan metode survei partisipatif yang benar-benar melibatkan masyarakat dalam setiap tahapannya—mulai dari identifikasi masalah, perumusan solusi, hingga evaluasi pelaksanaan.
Lebih lanjut, keberhasilan inklusi dalam kebijakan publik juga sangat ditentukan oleh kualitas data yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Data yang tidak terpilah secara gender, disabilitas, atau wilayah akan melahirkan kebijakan yang bias. Misalnya, jika data tentang kemiskinan tidak mencakup kondisi perempuan kepala keluarga atau penyandang disabilitas, maka program pengentasan kemiskinan berisiko tidak menyentuh mereka. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengembangkan sistem data yang responsif terhadap keragaman masyarakat.
Selain itu, inklusi juga erat kaitannya dengan pendekatan intersektoral. Banyak kelompok yang mengalami ketertinggalan bukan hanya karena satu faktor, melainkan karena tumpang tindih dari berbagai kerentanan. Seorang perempuan miskin yang tinggal di daerah terpencil dan memiliki anak dengan kebutuhan khusus, misalnya, memerlukan kebijakan yang menyentuh banyak aspek kehidupan secara bersamaan. Artinya, instansi pemerintah tidak boleh bekerja dalam sekat-sekat sektoral sempit. Diperlukan koordinasi lintas sektor dan sinergi antarlembaga agar kebijakan yang dilahirkan benar-benar menyentuh kebutuhan warga secara holistik.
Prinsip inklusi juga tidak akan berjalan tanpa dukungan dari sektor pendidikan dan penguatan kapasitas masyarakat. Kesadaran kritis masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara harus dibangun melalui pendidikan kewarganegaraan yang inklusif. Di sisi lain, aparatur negara di berbagai level pemerintahan juga harus dilatih untuk mampu memahami perspektif keragaman, empati terhadap kelompok rentan, serta kompeten dalam mengelola proses partisipatif. Tanpa peningkatan kapasitas ini, semangat inklusi hanya akan menjadi jargon administratif belaka.
Dalam konteks lokal di Indonesia, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Di sejumlah daerah, masih ditemukan kebijakan publik yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok tertentu, misalnya melalui regulasi daerah yang membatasi hak kelompok minoritas untuk beribadah atau berpakaian sesuai keyakinannya. Hal ini menunjukkan bahwa inklusi belum sepenuhnya dipahami sebagai prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, konstitusi Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa kecuali.
Meski begitu, ada juga berbagai inisiatif positif yang patut diapresiasi. Beberapa kota dan kabupaten mulai menerapkan prinsip “kota inklusif” dengan memperhatikan aksesibilitas ruang publik bagi disabilitas, menyediakan layanan publik berbasis gender, dan menyusun musrenbang tematik khusus untuk kelompok marjinal. Praktik-praktik baik ini perlu direplikasi dan diperluas, dengan dukungan kebijakan nasional yang konsisten dan pendampingan dari akademisi serta masyarakat sipil.
Sebagai penutup, inklusi dalam kebijakan publik bukan sekadar tuntutan etis atau moral, tetapi merupakan syarat mutlak bagi efektivitas dan keberlanjutan kebijakan itu sendiri. Ketika semua golongan masyarakat merasa diakui, dihargai, dan dilibatkan, maka kebijakan akan lebih tepat sasaran, lebih adil, dan lebih mudah diimplementasikan. Di era demokrasi partisipatif dan keterbukaan informasi, inklusi bukan lagi pilihan, ia adalah keharusan. Karena kebijakan yang baik adalah kebijakan yang lahir dari suara semua, bukan hanya suara sebagian. (***)







