Generasi Milenial Dan Krisis Kepemimpinan

oleh -38 Dilihat
Dosen Administrasi Publik FISIP UNIVERSITAS SRIWIJAYA, Irsad Munawir, MSi
Dosen Administrasi Publik FISIP UNIVERSITAS SRIWIJAYA, Irsad Munawir, MSi

Penulis : Irsad Munawir, MSi

Dosen Administrasi Publik FISIP

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, isu tentang krisis kepemimpinan semakin menarik untuk dibahas pada forum publik. Pada saat ini perubahan yang terjadi begitu cepat yang disebabkan oleh adanya globalisasi serta digitalisasi dalam segala bidang. Saat ini, muncul sebuah pertanyaan apakah generasi millenial siap mengisi kekosongan kepemimpinan yang ada di masa yang akan datang. Generasi Millenial itu sendiri adalah mereka yang lahir dari tahun 1981 sampai tahun 1996, sangat banyak dari generasi tersebut yang memiliki pandangan berbeda dengan generasi pendahulunya. Tetapi, terdapat pula beberapa kritik terhadap mereka, terutama terkait dengan kemampuan dalam menghadapi tantangan yang kompleks dalam berbagai bidang. Ditambah lagi, gaya kepemimpinan yang diwariskan oleh generasi sebelum mereka kepada cenderung dipandang kurang relevan bagi zaman ini. Maka timbul pula persoalan apakah seharusnya generasi milenial yang berubah dan menyesuaikan diri dengan zamannya, atau yang berubah adalah sistem kepemimpinan yang ada saat ini.

Salah satu kritik utama terhadap generasi milenial adalah mereka dianggap terlalu bergantung pada teknologi dan kurang memiliki keterampilan interpersonal yang mendalam. Di era di mana komunikasi digital menjadi dominan, kemampuan untuk membangun hubungan personal secara langsung sering kali terabaikan. Generasi ini tumbuh besar di tengah kemajuan teknologi yang pesat, yang memungkinkan mereka untuk multitasking dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Namun, kecepatan dan efisiensi ini sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan untuk membangun visi jangka panjang dan kemampuan mengelola hubungan yang kompleks, yang merupakan inti dari kepemimpinan.

Baca Juga :  Personel Polres OKU Polda SUMSEL Mengamankan Aksi Damai SSB

Banyak penelitian menunjukkan bahwa generasi ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka mewarisi dunia yang dipenuhi dengan ketidakpastian, mulai dari perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, hingga instabilitas politik. Dalam konteks ini, generasi milenial sebenarnya membutuhkan lingkungan yang mendukung pengembangan kepemimpinan mereka. Sayangnya, banyak institusi yang masih berpegang pada pola pikir lama, yang tidak memberikan ruang bagi inovasi dan keberanian untuk mencoba pendekatan baru.

Selain itu, stigma terhadap generasi milenial juga perlu dilihat dari sudut pandang yang lebih kritis. Sebagai contoh, mereka sering kali dicap sebagai generasi yang “malas” atau “terlalu idealis.” Padahal, jika dilihat dari data, generasi ini menunjukkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka juga lebih peduli terhadap isu-isu sosial, seperti kesetaraan gender, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Namun, semangat ini sering kali terhambat oleh struktur hierarkis yang kaku dan budaya organisasi yang tidak inklusif. Hal ini membuat mereka merasa frustasi dan kurang termotivasi untuk mengambil peran kepemimpinan.

Di sisi lain, pola kepemimpinan tradisional yang diwariskan oleh generasi sebelumnya juga patut dipertanyakan. Model kepemimpinan yang otoriter dan hierarkis mungkin efektif di masa lalu, tetapi tidak lagi relevan di era yang menuntut kolaborasi dan fleksibilitas. Generasi milenial cenderung lebih menghargai model kepemimpinan yang partisipatif, di mana setiap individu memiliki suara dan peran yang signifikan. Mereka juga lebih terbuka terhadap perubahan dan berani mengambil risiko untuk mencoba pendekatan baru. Namun, sifat ini sering kali bertentangan dengan ekspektasi dari generasi yang lebih tua, yang masih memegang teguh prinsip-prinsip konservatif.

Baca Juga :  Kasubsi Giatja Lapas Muaradua Naik Pangkat

Pertanyaannya sekarang, siapa yang harus berubah? Jawabannya mungkin tidak sesederhana memilih salah satu pihak. Baik generasi milenial maupun sistem kepemimpinan yang ada perlu melakukan transformasi. Bagi generasi milenial, penting untuk meningkatkan keterampilan interpersonal dan belajar dari pengalaman generasi sebelumnya. Mereka juga perlu lebih sabar dan konsisten dalam membangun karier, mengingat kepemimpinan tidak hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga tentang kepercayaan dan integritas yang dibangun dari waktu ke waktu.

Sementara itu, institusi dan organisasi juga harus beradaptasi. Mereka perlu menciptakan ekosistem yang memungkinkan generasi milenial untuk berkembang. Ini termasuk memberikan pelatihan kepemimpinan yang relevan, membuka ruang untuk inovasi, dan mendorong budaya kerja yang inklusif. Kepemimpinan tidak lagi bisa hanya tentang “siapa yang paling lama bekerja,” tetapi harus berdasarkan kompetensi dan visi yang jelas. Selain itu, penting juga untuk mengintegrasikan nilai nilai baru yang dibawa oleh generasi milenial, seperti keberlanjutan, inklusivitas, dan kesetaraan.

Kolaborasi antar-generasi juga menjadi kunci untuk mengatasi krisis ini. Generasi milenial dapat belajar dari pengalaman generasi sebelumnya, sementara generasi yang lebih tua dapat mengambil inspirasi dari semangat dan inovasi generasi milenial. Dengan demikian, kepemimpinan dapat menjadi proses yang saling melengkapi, bukan kompetisi yang saling menjatuhkan.

Baca Juga :  Sumur Bor Disoal Tokoh Masyarakat Penyandingan Angkat Bicara

Lebih dari itu, masyarakat secara keseluruhan juga perlu mengubah cara pandang terhadap kepemimpinan. Kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan atau kekuasaan, tetapi tentang kemampuan untuk memengaruhi dan membawa perubahan positif. Dalam konteks ini, setiap individu, terlepas dari usia atau generasinya, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Yang dibutuhkan hanyalah lingkungan yang mendukung dan kesempatan untuk berkembang.

Pada akhirnya, krisis kepemimpinan yang kita hadapi bukanlah tentang kekurangan pemimpin, tetapi tentang kesenjangan antara harapan dan realitas. Generasi milenial memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin yang inovatif dan visioner. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika mereka diberi kesempatan dan dukungan yang memadai. Di sisi lain, generasi sebelumnya juga perlu membuka diri terhadap perubahan dan belajar untuk beradaptasi dengan dinamika zaman. Dengan kolaborasi yang erat dan saling pengertian, krisis kepemimpinan ini dapat menjadi peluang untuk menciptakan model kepemimpinan baru yang lebih inklusif dan relevan. Maka, bukan soal siapa yang harus berubah, tetapi bagaimana kita semua bisa berubah bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. (***)

Print Friendly, PDF & Email

No More Posts Available.

No more pages to load.